Hutan Adat Milik Siapa?
“Baru-baru ini Mahkamah Konstitusi menetapkan masyarakat adat sebagai kelompok masyarakat yang diakui kepemilikannya atas suatu wilayah. Ini harus kita terjemahkan dengan baik,” kata Kuntoro Mangkusubroto, Kepala UKP4.
Hutan adat kini resmi disahkan menjadi milik komunitas adat, bukan lagi milik negara. Pengakuan ini datang dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 35/PUU-X/2012 mengenai hutan adat yang membatalkan sejumlah ayat dan pasal yang mengatur keberadaan hutan adat dalam UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Keputusan ini membawa sejumlah konsekuensi, diantaranya mekanisme pengukuhan tentang keberadaan masyarakat hukum adat, penetapan batas kawasan hutan adat, dan pembagian kewenangan antara masyarakat hukum adat dengan negara dalam tata kelola hutan.
Keputusan MK ini disambut positif Kuntoro. “Dari dulu saya yakin pihak yang terbaik untuk mengelola hutan adalah mereka yang hidup bersama dan berada di sekitar hutan seperti masyarakat adat,” katanya di satu kesempatan terpisah.
UKP4 memandang perlu untuk mendapatkan kejelasan lebih jauh dampak legal dari keputusan tersebut, khususnya terkait dengan pembahasan dua Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sedang dibahas di DPR, yaitu RUU Pertanahan dan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat (RUU PPMA).
Deputi VI UKP4 yang juga ketua Tim Kerja Kajian dan Penegakan Hukum Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+, Mas Achmad Santosa, lantas mengundang sejumlah ahli hukum lingkungan dan pertanahan serta pegiat hak-hak masyarakat adat untuk membahas hal ini.
Pertemuan dihadiri pakar hukum pertanahan UGM, Profesor Maria Soemardjono, pakar kehutanan IPB, Profesor Hariadi Kartodihardjo, komisioner Komnas HAM, Sandra Moniaga, Arifin Saleh dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan Yance Arizona dari Epistema Institute.
Dalam diskusi yang berlangsung di Jakarta pada 13 Juni lalu, sebagai pakar hukum pertanahan, Maria menilai keputusan MK tersebut menegaskan kembali apa yang selama ini tersembunyi yaitu hak-hak masyarakat adat atas hutan yang melingkupi dan menghidupi mereka selama ini. Pengakuan itu sendiri bukan bersifat konstitusional (ditetapkan melalui konstitusi) tapi deklaratoir (menegaskan apa yang sudah ada sebelumnya).
Konsekuensinya, semua konsesi di atas hutan adat harus ditinjau kembali untuk mendapatkan persetujuan dari masyarakat hukum adat yang berhak. Selanjutnya konsesi harus atas persetujuan dari masyarakat hukum adat yang berkuasa atas hutan tersebut. Status penguasaan hutan adat tersebut tidak perlu dikukuhkan melalui sertifikat, seperti pada tanah yang dimiliki perseorangan atau badan hukum, tapi cukup diregistrasi seperti pada tanah-tanah yang dikuasai negara.
Arifin Saleh dari AMAN menyambut keluarnya keputusan MK ini sebagai momentum penguatan kewenangan masyarakat adat atas pemanfaatan hutan adat.
Penetapan batas wilayah hutan adat diusulkan agar bisa berlangsung secara transparan dan partisipatif, dengan memberi peluang kepada masyarakat adat untuk melakukan self identification termasuk dalam pengaturan tata kelolanya.
Meski mendapat penguatan sebagai subyek hukum, mengacu UU Pokok Agraria, masyarakat hukum adat saat hendak menetapkan fungsi hutan adat (lindung, produksi atau konservasi) yang mereka kuasai tetap perlu meminta persetujuan negara.
Sementara Yance berharap agar keputusan MK ini bisa jadi momentum untuk menghentikan kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan para aktivis pendukungnya yang memperjuangkan hak masyarakat atas hutan adat. Lebih jauh, bahkan negara dan pihak-pihak yang telah merugikan masyarakat adat itu untuk meminta maaf dan menggantirugi.
Sandra Moniaga, Komisioner Komnas HAM, mengingatkan bahwa pembenahan peraturan lainnya masih diperlukan agar pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat dan penguasaannya terhadap hutan adat ini bisa dilaksanakan dengan baik.
Meneruskan apa yang disampaikan Sandra, Hariadi menjelaskan bahwa implementasi dari keputusan MK itu setidaknya bisa diinterpretasikan melalui tiga pendekatan kebijakan, sebagai dasar untuk melakukan penertiban, penyelesaian konflik, dan perbaikan tata kelola di bidang pertanahan. Meski telah mendapat penguatan, status masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum dalam penguasaan hutan adat ini tidak otomatis akan berjalan mulus.
Pengakuan ini perlu dikukuhkan pula dalam perundangan dan peraturan lain, termasuk dalam RUU Pertanahan dan RUU PPMA, dan secara bersamaan pengukuhan pengakuan melalui perbaikan berbagai peraturan pemerintah, kementerian dan pemerintah provinsi, kabupaten kota. UKP4 selaku unit kerja Presiden diharapkan untuk mengawal penyusunan dan pengesahan kedua RUU tersebut untuk menjaganya agar sesuai dengan spirit Putusan MK yang sangat berpihak kepada eksistensi masyarakat adat.
“Perubahan untuk harmonisasi di tingkat perundang-undangan bukanlah proses yang mudah dan singkat, karena itu Presiden dan jajaran di bawahnya bisa melakukan langkah hukum yang cepat untuk memperkuat pengakuan hak masyarakat hukum adat terhadap hutan adat ini, misalnya melalui penerbitan Peraturan Presiden, yang kemudian diikuti peraturan menteri, gubernur dan bupati,” kata Hariadi. Pada intinya peraturan perbaikan itu diharapkan bisa memuat:
(1) Rencana dan strategi percepatan pemetaan Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang meliputi wilayah MHA, hukum adatnya, lembaga adat, dan mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan hukum adat;
(2) Pengakuan atas MHA harus dilampiri dengan Peta Wilayah MHA;
(3) Mekanisme penyelesaian konflik;
(4) Program dan kebijakan untuk memberdayakan dan memberikan manfaat kepada MHA terkait hutan adat yang didasarkan dan disesuaikan dengan kepentingan konservasi, lindung, ekosistem, dan penjagaan kawasan hutan sesuai dengan berbagai peraturan perundangan yang berlaku.
Besarnya optimisme pada kemampuan masyarakat adat untuk melakukan tata kelola terhadap hutan adat ini sempat dipertanyakan. Tanah dan hutan merupakan sumber daya terbatas yang kian jadi rebutan berbagai pihak, terutama pelaku bisnis, yang akan menempuh berbagai cara, termasuk jalur hukum untuk mendapatkan kepemilikan tanah.
Tanpa kecakapan akan hukum, masyarakat hukum adat sangat rentan untuk dikalahkan dalam konflik dalam penguasaan tanah dan hutan ini. Karena itu, selain mengupayakan penguatan status mereka sebagai subyek hukum melalui revisi dan perbaikan atas berbagai peraturan yang ada, peningkatan kapasitas masyarakat hukum adat perlu pula dipikirkan dan diupayakan. [menlhk]
0 comments:
Post a Comment